Senin, 28 November 2011

lingkungan hidup

a. Pengantar
Apabila secara filosofis kita membandingkan keadaan lingkungan hidup dari periode jaman Yunani kuno, jaman abad pertengahan dan jaman modern, kita akan menemukan periode waktu tertentu yang menjadi latar belakang utama kerusakan lingkungan hidup. Periode waktu yang dimaksud adalah periode waktu jaman modern. Jaman modern adalah periode waktu yang menujukkan sikap paling tidak ramah terhadap lingkungan hidup kita. Misalnya, ketika ditemukan alat-alat industri yang kemudian mendorong terjadinya era industrialisasi. Usia industrialisasi yang hanya berusia kurang dari 200 tahun ternyata telah mengakibatkan kerusakan begitu besar atas sistem kehidupan di bumi yang telah berusia 500 juta tahun[1].
Masalah kerusakan lingkungan hidup terus terjadi hingga jaman kontemporer bahkan hingga jaman ini. Menghadapi tantangan ini, kita semua sebagai penghuni bumi yang satu, punya sebuah tanggung jawab untuk menanggapi masalah krisis lingkungan hidup tersebut. Dengan tanpa memandang, siapa pun, dengan latar belakang apa pun, semua di harapkan untuk terlibat untuk mengambil langkah kongkret menyelamatkan bumi dan lingkungan hidup di dalamnya. Oleh karena itu, dalam kerangka yang sama, di bawah akan disajikan beberapa gagasan dari ”dunia” Islam dalam bentuk analisis dan kajian yang mencoba mengenali masalah lingkungan hidup dan krisis yang terjadi. Diharapkan, dari gagasan-gagasan yang tersebut, persoalan lingkungan hidup dapat diatasi.

b. Muslim Menghadapi Masalah Kerusakan Lingkungan Hidup

Umat muslim yang berjumlah hampir satu miliar mendiami dunia yang satu dan sama. Di mana pun mereka berada, tentunya merasakan keprihatinan mendalam atas berbagai macam masalah lingkungan hidup yang terjadi akhir-akhir ini. Krisis tersebut meliputi seluruh sistem ekologi alami di bumi, termasuk hal-hal yang berkaitan dengan manusia: udara yang kita hirup, makanan yang kita makan, air yang kita minum, termasuk sistem di dalam tubuh kita. Krisis tersebut membahayakan keharmonisan seluruh materi di bumi termasuk sistem kehidupannya[3]. Akan tetapi, sebagian besar umat muslim, seperti manusia lainya, masih sangat kurang menunjukkan perhatiannya terhadap fakta krisis tersebut.

Apabila kita boleh berspekulasi, akan ada perubahan yang sangat besar pada lingkungan hidup jika saja sejumlah besar umat Muslim mau sungguh-sungguh meningkatkan perhatian mereka pada lingkungan hidup dan krisis yang sedang dihadapi oleh bumi. Misalnya, dengan membangun jaringan kesadaran ekologis di antara negara-negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam, mengadakan kerja sama dalam mengolah sumber-sumber daya alam secara bijak, menentukan bentuk-bentuk regulasi yang berguna untuk menjaga kelestarian lingkungan hidup dan lain sebagainya.
 Sebaliknya, jika sebagian besar umat Muslim tetap tidak menunjukkan kepedulian mereka terhadap lingkungan hidup dan masalah-masalah yang dihadapinya, maka dapat dipastikan bahwa kerusakan lingkungan hidup akan terus terjadi dan menimbulkan masalah-masalah baru misalnya bencana alam dan perubahan iklim yang tidak menguntungkan. Jika hal seperti itu telah terjadi, akan ada kerugian lebih besar yang harus ditanggung, bukan hanya oleh sejumlah besar umat muslim itu sendiri, tetapi juga oleh penduduk bumi yang lain. Oleh karena itu, rasanya perlu ada sebuah cara terntentu untuk membangun kesadaran di antara umat muslim itu sendiri dan selanjutnya untuk masyarakat yang lebih luas.
Sekarang yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana menggerakkan dan membangunkan kesadaran yang diharapkan tersebut di antara umat muslim? Pendekatan apa yang dapat dilakukan sehingga dapat menggugah hati banyak umat muslim untuk dengan segera menjawab atau mewujudkan kepedulian mereka terhadap krisis lingkungan hidup ?


c. tanggapan terhadap  Masalah Lingkungan Hidup   
Tanggapan atas kerusakan lingkungan hidup dan usaha untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang sebelumnya diajukan muncul di antara para pemikir Islam. Mereka mencoba mengemukakan bermacam-macam pendapat, misalnya;  tentang latar belakang teologis kerusakan lingkungan hidup dan bagaimana kita mesti menempatkan posisi diri kita di dalamnya. Selain itu, ada juga para pemikir Islam yang mencoba melihat persoalan kerusakan lingkungan hidup terkait dengan peran negara sebagai  ”kekuatan” yang memiliki potensi untuk melindungi dan melestarikan lingkungan hidup dan sebagai masalah kontemporer di dunia Islam.
Melalui beberapa  tanggapan para pemikir tersebut, kita dapat berharap lebih terhadap munculnya kesadaran baru atas lingkungan hidup bagi sejumlah besar umat Muslim. Oleh karena itu, di bawah akan disajikan bagaimana gambaran tanggapan yang dimiliki oleh para pemikir Islam tersebut.

1. Pandangan teologis penciptaan
Diskusi tentang masalah kerusakan lingkungan hidup yang dikaitkan dengan hidup keagamaan pada umumnya selalu menyinggung pandangan teologis dari agama tersebut. Pendapat tersebut tiadaklah salah. Diakui bahwa pandangan teologis tertentu memiliki potensi untuk menjadi alasan atas sikap para penganutnya terhadap dunia ciptaan.
Di dalam dunia kekristenan, gagasan teologis penciptaan seringkali dijadikan alasan bagi para penganutnya untuk melakukan eksploitasi terhadap ciptaan Allah yang lain. Yang menjadi pertanyaan adalah bagaiamana dengan dunia Islam? Apakah mereka melakukan yang sama?
Dalam sebuah tulisan singkat yang berjudul dampak ekologis teologi penciptaan menurut Islam[4] dikatakan bahwa yang menjadi ’akibat ekologis” dari pandangan-pandangan penciptaan tersebut bersifat ambigu. Maksudnya, di satu pihak, bahan tertentu dapat mendukung pendekatan antroposentris terhadap lingkungan, yang mengeksploitasinya demi kepentingan manusia. Dalam pandangan ini, ciptaan non-manusia dihargai bukan atas nilai intrinsiknya, melainkan hanya atas nilai instrumental bagi manusia. Selain itu, Allah dilihat sebagai yang meningikan manusia sampai ke taraf  wakil atas bumi, dengan demikian memberi manusia hak untuk mengatur lingkungan menurut kehendak mereka. Allah mewakilkan kedaulatan atas ciptaan kepada manusia, yang sekarang mempunyai kuasa fungsional atas ciptaan yang lain sebagai khulufa’Allah. Singkatnya unsur pendekatan tradisi Islam ini tidak menjadi tanda yang baik bagi lingkungan[5].  Di pihak lain, muncul pula pandangan yang mengatakan bahwa hormat terhadap lingkungan muncul dari dua aspek lain misalnya kepercayaan bahwa ciptaan memberi tanda-tanda pada manusia kedaulatan dan rahmat Allah dan kepercayaan bahwa ciptaan non-manusia ditentukan untuk memuji Allah bersama dengan manusia. Kedua hal ini memberi dukungan pandagan yang mendukung pandangan yang memberikan nilai intrinsik kepada ciptaan-ciptaan lain[6].
2. Posisi manusia dan ciptaan lain
Salah satu gagasan yang mungkin dapat juga membantu kita dalam mewujudkan kepedulian terhadap lingkungan hidup adalah dengan mengetahui di mana sebenarnya kedudukan kita sebagai makhluk ciptaan Allah di tengah makhluk-makluk ciptaan yang lain.
            Di dalam alam semesta manusia adalah salah satu makhluk hidup di antara makhluk-makhluk hidup yang lain. Keistimewaan yang menjadikan manusia berbeda dengan makhluk ciptaan yang lain adalah bahwa manusia memiliki kesadaran dan kemampuan untuk membedakan mana yang benar dan salah. Dengan kesadaran dan kemampuanya itu, manusia mempunyai kebabasan yang lebih luas, bahkan ia memiliki kebebasan untuk memilih. Dengan kesadaran dan kemampuanya itu pula sebenarnya manusia diharapkan mampu mengarahkan diri untuk memelihara dan membangun relasi yang baik dengan ciptaan-ciptaan yang lain. Namun yang terjadi kadangkala justru sebaliknya.
            Di dalam Al-Qur’an ada sekitar 500 ayat yang memberikan pedoman terhadap hal-hal yang terkait dengan lingkungan hidup dan bagaimana memiliharanya. Hanya saja, ada sebagian orang Muslim yang berpikir bahwa masalah kerusakan lingkungan hidup dapat diselesaikan oleh para ilmuwan, ekonom, dan para ahli yang lain, sedangkan tugas Islam adalah hanya untuk memberikan tuntunan dalam bidang-bidang spiritual. Padahal, Islam yang sesungguhnya tidak memberikan pembedaan tersebut di atas. Islam tidak dapat mengabaikan permasalahan lingkungan hidup[7]. Dengan kata lain, kita tidak dapat mengabaikan masalah yang dihadapi oleh spesies lain penghuni bumi.
            Sejumlah ajaran Islam terkait dengan pemeliharaan dan pengolahan lingkungan hidup. Salah satu prisip filsafat lingkungan hidup Islam adalah bahwa alam semesta diciptakan berdasarkan keseimbangan dan harmoni antaranggota alam semesta tersebut. Selain itu, manusia harus berusaha semaksimal mungkin untuk menjaga keseimbangan dan beriteraksi secara benar dengan maujud-maujud lain di alam. Tentang keseimbangan dan harmoni alam semesta, Allah menyatakanya dalam beberapa firman, misalnya:
”Kamu sekali-kali tidak melihat pada ciptaan Tuhan Yang Maha Pengasih sesuatu yang tidak seimbang” (Al-Mulk: 13).
Sesuatu yang tercipta berdasarkan perhitungan dan ukuran dan tempat-tempat di posisi yang tepat:
”Dan Dia telah menciptakan segala sesuatu dan Dia menetapkan ukuran-ukurannya dengan  serapih-rapihnya” (Al-Furqan: 2).
”Segala sesuatu pada sisiNya ada ukurannya” (Ar-Ra’d: 8) ”Matahari dan bulan (beredar) menurut perhitungan, bintang dan  pohon tunduk kepadaNya, Allah meninggikan langit dan Dia meletakkan necara” (Ar-Rahman: 5-8).
 ”Ciptaan Tuhan Yang telah mengkokohkan segala sesuatu” (An-Naml: 88)[8].
            Sederhananya, planet kita adalah satu-satunya planet yang ada di alam semesta dan di ketahui terdapat kehidupan di dalamnya. Oleh karena itu, manusia memiliki tanggung jawab yang besar untuk menjaga kehidupan yang barharga tersebut bersamaan dengan ciptaan dan makhluk hidup yang lain.

3. Negara dan lingkungan hidup
Penanganan masalah kerusakan lingkungan hidup akan terasa lebih efektif jika hal itu dilakukan bukan hanya secara individual tetapi juga secara bersama-sama. Oleh karena itu diperlukan sebuah ”kondisi” di mana setiap individu mau tidak mau ikut ambil bagian dalam mewujudkan kepedulianya terhadap lingkungan hidup. Dalam kerangka ini, diperlukanlah sebuah ”kekuatan” yang dapat menjadi motor untuk mewujudkan kepedulian tersebut.
Salah satu bentuk ”kekuatan” yang di maskud di sini adalah negara dan administrasi yang dimilikinya untuk menyerukan secara tegas kepedulian terhadap lingkungan hidup. Negara ibaratnya adalah sebuah ”kapal” yang digunakan sebagai sarana penyeberangan antar pulau, dan rakyat adalah penumpang yang ada di dalamnya, sedangkan awak kapal merupakan pemerintah yang menjalankanya. Dalam arti tertentu, negara mempunyai tanggungjawab untuk mengatur kehidupan bersama agar menjadi lebih baik. Demikian juga sebaliknya, warganegara perlu menaati negara demi tujuan kebaikan hidup bersama.
Bumi yang dihuni manusia, terdiri dari bagian-bagian yang kemudian teridentifikasi sebagai ”Negara” dengan wilayah teritorial tertentu. Pada umumnya teritorial sebuah negara dibatas oleh darat, laut dan udara. Wilayah-wilayah yang disebut sebagai teritorial dalam konsepsi fiqih dikenal dengan istilah ”bi’ah” (lingkungan). Biah dan atau lingkungan ini adalah bagian penting dari sebuah wilayah negara yang dihuni oleh manusia sebagai penanggungjawabnya. Kelangsungan hidup manusia, dan juga baik buruknya, dapat dilihat dari ”sejauh mana” kepedulian manusia sebagai ”kholifah” terhadap alam atau lingkungan hidup. Nilai kepedulian positif manusia terhadap lingkungannya akan memberikan kebaikan bagi diri manusia itu sendiri. Apabila ketidakpedulian terhadap alam mengakibatkan kerusakan alam dan lingkungan sekitarnya, maka sesungguhnya kadar kerusakan akan menimpa manusia dengan ukuran yang setara atau bahkan lebih. Dan jika penjagaan seta pemeliharaan sebuah kawasan alam menuntut manusia bertanggungjawab penuh, maka pelanggaran atas penyelewengan dengan bertindak merusak alam tersebut mutlak diberikan sanksi setimpal. Pemberian sanksi bagi pelanggar dan tindakan preventif terjadinya kerusakan adalah unsur pasti bagi sebuah kawasan di lingkungan negara.
Dengan demikian negara dan lingkungan hidup memiliki suatu kesatuan yang saling melengkapi. Negara yang berdiri serta terselenggara oleh sebuah pemerintahan seperti suratan kaidah, bertanggung jawab penuh memelihara lingkungan dari ancaman kejahilan tangan nakal sekelompok warganya. Perluasan makna ”kewajiban” atas kewajiban pada konteks negara dan lingkungan, berarti kewajiban negara dalam lingkungan dalam pemeliharaan. Arti wajib di sini adalah kewenangan mengupayakan dan beban yang disandarkan merupakan bagian penting yang tidak dapat diaaikan. Karena kelalaian serta mencampakkan beban tersebut secara pasti berakibat buruk bagi negara itu sendiri.

4. Masalah lingkungan hidup: maslah di dunia Islam kontemporer
Seyyed Hossein Nasr[9] dalam sebuah tulisanya mengungkapkan beberapa masalah lingkungan hidup yang terjadi pada di dunia Islam kontemporer. Ia sendiri memulai keprihatinannya terhadap lingkungan hidup sejak tahun  1950 ketika ia belajar di Massachusetes Instutute of Technology Harvard.
Dalam salah satu bagian tulisanya, Nasr mengungkapkan bahwa rintangan dalam merealisasikan dan menerapkan sudut pandang Islam terhadap lingkungan. Ia mengakatan bahwa jika seseorang mempelajari sudut pandang Islam atau hubungan manusia dengan lingkungan: ada suatu gambaran keharmonisan kehidupan perkotaan dengan lingkungan yang terdapat dalam peradaban klasik Islam. Dan jika kemudian membandingkan kenyataan tersebut dengan situasi Islam saat ini, akan menjadi jelas bahwa baik pemerintah maupun orang-orang di Negara Islam tidak mengikuti Islam dalam memperlakukan lingkungan hidup[10]. Sebagai contoh kita dapat memperhatikan gaya hidup orang-orang yang berpindah dari desa ke kota atau pinggiran kota. Dari banyak pengamatan, entah itu di Jakarta atau kota-kota besar yang lain, terlihat bahwa sikap kearifan mereka terhadap lingkungan hidup telah hilang. Hal itu dapat dibuktikan dengan melihat bagaimana sikap mereka memperlakukan sampah. Dengan mudah kita dapat menemukan tumpukan dan tebaran sampah ketika berada di daerah-daerah yang telah disebutkan tadi.
Sekarang yang menjadi pertanyaan adalah, rintangan selanjutnya yang harus kita pahami dan bagaimana menerapkan ajaran Islam mengenai lingkungan hidup pada masyarakat umum? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, Nasr mengemukakan beberapa pendapat yang bervariasi. Pertama, ia mengungkapkan bahwa krisis lingkungan hidup terkait dengan penggunaan tehnologi modern dan aplikasi sains modern lainya. Tehnologi dan sains modern adalah ”bahan” yang berasal dari bangsa Barat. Seringkali tidaklah mudah bagi orang Muslim untuk memahami pola tehnologi sains modern tersebut yang terus berkembang. Lebih susahnya lagi, bangsa Barat sepertinya tidaklah memiliki keberanian dan hasrat untuk menciptakan sistem ekonomi Islam dan menjadikan hubungan manusia dan alam dalam Islam sebagai landasanya. Kedua, Nasr juga mengungkapkan rintangan lain yang seringkali menjadi penghambat dalam mewujudkan kepedulian umat Muslim terhadap lingkungan hidup. Rintangan yang dimaskud di sini adalah kegiatan praktis migrasi masyarakat desa ke wilayah kota dalam jumlah yang besar. Kegiatan migrasi tersebut, menurut Nasr mengakibatkan tercerabutnya mereka dari akar budayanya sendiri. Di tempat yang baru, mereka tidak lagi  peka atau memiliki rasa perasaan yang sama untuk menghormati alam dan usur-unsur di dalamnya seperti ketika mereka berada di desa. Ketiga, untuk mengatasi rintangan yang ada dalam kelompok Islam perlu juga dilakukan formulasi ulang ajaran Islam mengenai lingkungan hidup dan menerapkannya dalam kelompok seluas mungkin. Dalam hal ini, para pemuka agama (ulama) yang merupakan pemelihara Islam dan yang memiliki telinga mayoritas umat Muslim di segala hal, temasuk hal yang berkaitan dengan krisis lingkungan, perlu dihimbau agar semakin giat mengajarkan ajaran-ajaran Islam yang yang ramah terhadap lingkungan hidup

d. mencapai kesadaran baru
Jaman modern dan jaman kontemporer dalam arti tertentu dapat dikatakan sebagai periode waktu yang sangat kurang ramah terhadap lingkungan hidup. Pemahaman intelektual manusia, yang ditandai dengan kemampuan mereka mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi justru tidak membuat mereka semakin peduli terhadap pentingnya lingkungan hidup, tetapi sebaliknya justru mendorong mereka untuk melakukan eksploitasi besar-besaran terhadap lingkungan hidup tersebut. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika bumi kita sekarang sebuah sebuah mengalami krisis.  Tidak mengherankan pula ketika akhir-akhir ini sering terjadi bencana alam, entah itu banjir, badai, perubahan iklim dan seterusnya. Kendati demikian, kita tidak boleh berhenti untuk hanya sekedar menyalahkan periode waktu mana, kelompok atau orang tertentu saja yang harus bertanggung jawab atas kerusakan bumi dan lingkungan di sekitar kita. Tetapi, kita perlu bersama-sama mencapai kesadaran baru
Umat Muslim yang berjumlah hampir satu seperempat miliar akan dapat melakukan perubahan yang sangat besar jika saja kesadaran terhadap lingkungan hidup tumbuh dengan baik di antara mereka. Wujud kesadaran ini dapat dilakukan dengan berbagai bidang melalui perspektif dan tindakan kongkret. Pada bagian sebelumnya tadi telah diuraikan tentang beberapa gagasan yang dapat kita jadikan acuan untuk merealisasikan kesadaran kita terhadap lingkungan hidup dan aspek-aspek lain yang melingkupinya. Melalui usaha memahami latar belakang teologis kerusakan lingkungan hidup dan bagaimana kita mesti menempatkan posisi diri kita di dalamnya, kita bisa membangun mind set yang positif demi lingkungan hidup itu sendiri. Selain itu, melalui usaha bersama dengan negara, kita juga dapat mewujudkan usaha untuk mengatasi masalah-masalah  kerusakan lingkungan hidup yang sedang terjadi. Dan, tentunya perlu juga kita pahami secara berulang-ulang bahwa masalah lingkungan hidup merupakan masalah kontemporer di dunia Islam.
Akhirnya, segala persoalan lingkungan hidup di kembalikan kepada kita masing-masing. Di luar diri kita telah di sajikan banyak macam kajian dan perspektif tentang bagaimana kita mesti bersikap dan berlaku terhadap lingkungan hidup. Sekarang yang menjadi pertanyaan adalah, apakah kita, mulai dari saat ini dan di sini, berkenan melakukan semua itu?



Senin, 14 November 2011

Lebaran di Jepang 30 Agustus 2011


Merayakan Idul Fitri di negeri orang memiliki cerita yang menarik sekaligus menyimpan kegetiran. Idul Fitri, yang menjadi momen untuk berkumpul bersama sanak saudara, menjadi momen yang berat bagi mereka yang berada jauh dari sanak famili. Keinginan bersilaturahmi, sembari menikmati berbagai hidangan khas hari raya, menjadi sulit dilakukan.
Di Jepang, yang notabene bukan negara muslim, kita tidak dapat menyerap nuansa Ramadhan dan Idul Fitri secara optimal. Berbagai kebiasaan, budaya, dan pengalaman personal tentang Ramadhan di tanah air, sama sekali tidak terlihat dan dirasakan di Jepang. Tak ada takbir, tak ada adzan, dan tak ada petasan. Siaran televisipun demikian, tak ada ceramah agama, tak ada acara religius, maupun acara hiburan yang menemani sahur.
Semua aktivitas di Jepang berjalan biasa seolah tanpa apa. Apalagi Idul Fitri tahun ini jatuh di hari kerja. Mereka yang bekerja tetap memiliki kewajiban untuk masuk kerja, kecuali diijinkan cuti. Akibatnya, puasa dan lebaran di Jepang bisa berarti sebuah kesepian.
Nampaknya hal ini pula yang dirasakan oleh masyarakat Indonesia yang berada di Jepang, khususnya di kota Tokyo. Oleh karenanya, setiap Ramadhan tiba, kelompok masyarakat Indonesia di Jepang berupaya menghidupkan suasana dengan berbagai kegiatan. Keluarga Masyarakat Islam Indonesia (KMII), yang merupakan organisasi masyarakat Indonesia di Jepang, menyusun berbagai kegiatan untuk menyemarakkan Ramadhan.
Masyarakat Indonesia juga bersyukur karena pihak KBRI Tokyo sangat aktif, terbuka, dan mendukung berbagai kegiatan dalam menghidupkan suasana Ramadhan dan Idul Fitri. Selain mengundang ustadz dari Indonesia, kegiatan yang dilakukan adalah juga sholat tarawih, tadarus, maupun ceramah-ceramah agama. Berbagai kegiatan tersebut dipusatkan di Balai Indonesia, Sekolah Republik Indonesia Tokyo (SRIT) yang berada di wilayah Meguro. Setiap acara dihadiri dengan antusias oleh masyarakat Indonesia.
Saat Idul Fitri tiba, Sholat Ied pun dilakukan di Balai Indonesia SRIT. Sekitar 2500 warga Indonesia datang dan tumpah ruah memenuhi tempat sholat Ied. Karena penuh dan membludak, sholat Ied pun dilakukan dalam dua sesi. Kebanyakan masyarakat Indonesia yang datang adalah para pelajar, kenshuse (pekerja magang), para perawat Indonesia yang bekerja di rumah sakit Jepang, maupun pegawai pemerintah atau profesional. Mereka datang dari berbagai wilayah di sekitar Tokyo. Salah seorang kenshushe misalnya, datang dari Shizuoka satu hari sebelumnya dan rela menginap di SRIT demi mengikuti sholat Ied.

Sholat Ied di Tokyo kali ini juga menjadi istimewa karena merupakan kali pertama bagi Duta Besar RI yang baru saja tiba, Muhammad Lutfi. Dalam sambutannya sebelum sholat dimulai, Dubes Lutfi, yang sebelumnya menjabat sebagai Kepala BKPM, mengangkat pentingnya kebersamaan warga Indonesia yang sedang berada di Jepang, khususnya dalam membawa nama bangsa Indonesia.
Usai sholat Ied, kegiatan beralih dari SRIT ke Wisma Indonesia, yang merupakan kediaman Duta Besar Indonesia. Seluruh warga Indonesia yang selesai melakukan sholat Ied berbondong-bondong menuju Wisma. Selain untuk bersalaman dengan Duta Besar RI yang baru beserta Istrinya, Bianca Adinegoro, mereka juga ingin mengobati kerinduan pada suasana hari raya di tanah air, baik yang terkait dengan silaturahmi maupun hidangan khasnya.

Para ibu-ibu di KBRI dengan semangat menyediakan sajian hidangan lebaran yang mendegut ludah. Mereka bekerja siang malam menyiapkan sajian untuk sekitar 3000 orang. Selain ketupat, berbagai sayur seperti gulai bambu dan sambal goreng ati juga disiapkan. Ada juga ayam goreng kampung yang diimpor langsung dari Indonesia. Rasanya lezat. Sungguh mengobati kerinduan pada hidangan tanah air.

Pak Dubes yang baru, sebagaimana Dubes sebelumnya, memang menjadikan Wisma Indonesia sebagai “rumah” bagi seluruh warga Indonesia yang berada di Jepang. Saat lebaran tiba, makna kata “rumah” itu menjadi semakin penting. Kerinduan akan tanah air bisa terobati dengan berkumpul bersama masyarakat Indonesia yang senasib dan jauh dari tanah air. Merayakan Idul Fitri memang bukan semata perkara religi, namun juga menyentuh berbagai aspek personal, sosial, maupun budaya.

foto foto masjid di Jepang

 

Senin, 07 November 2011

budaya Jepang "Geisha"

Geisha (bahasa Jepang:芸者 "seniman") adalah seniman-penghibur (entertainer) tradisional Jepang. Kata geiko digunakan di Kyoto untuk mengacu kepada individu tersebut. Geisha sangat umum pada abad ke-18 dan abad ke-19, dan masih ada sampai sekarang ini, walaupun jumlahnya tidak banyak. "Geisha" dilafalkan dalam bahasa Inggris:/ˈgeɪ ʃa/ ("gei-" - "may"). Di Kansai, istilah "geiko" (芸妓) dan geisha pemula "maiko" (舞妓) digunakan sejak Restorasi Meiji. Istilah "maiko" hanya digunakan di distrik Kyoto. Pengucapan ˈgi ʃa ("gei-" - "key") atau "gadis geisha" umum digunakan pada masa pendudukan Amerika Serikat di Jepang, mengandung konotasi prostitusi. Di Republik Rakyat Cina, kata yang digunakan adalah "yi ji," yang pengucapannya mirip dengan "ji" dalam bahasa Mandarin yang berarti prostitusi.
Geisha belajar banyak bentuk seni dalam hidup mereka, tidak hanya untuk menghibur pelanggan tetapi juga untuk kehidupan mereka. Rumah-rumah geisha ("Okiya") membawa gadis-gadis yang kebanyakan berasal dari keluarga miskin dan kemudian melatih mereka. Semasa kanak-kanak, geisha seringkali bekerja sebagai pembantu, kemudian sebagai geisha pemula (maiko) selama masa pelatihan.



Pada bulan Desember 2007, distrik Asakusa di Tokyo telah menjadi saksi atas debut Sayuki (紗幸), geisha Barat non-Jepang pertama di sejarah Jepang. Asalnya, Sayuki menjadi geisha untuk proyek akademik, tapi sekarang berniat untuk melanjutkan pekerjaannya itu. “Sayuki: inside the flower and willow world” akan dipublikasikan oleh Pan Macmillan Australia. Sebuah film dokumenter tentang hidup seorang geisha juga sedang direncanakan.

My Profile

Hai..
Nama saya Tika Amelia Rahmadani. Biasanya saya dipanggil Tika. Saya lahir tanggal 29 Mei 1995 tepatnya di Rumah Sakit Islam Jakarta. my twitter is @tikaameliaa